Acep Zamzam Noor
Seperti menapaki hari-hari tua yang runcing
Tiba-tiba seorang kawanku dari masa lalu datang
Rambutnya keriting dan bersayap seperti malaikat
Tubuhnya indah dan kepalanya dilingkari mahkota duri
Langkahnya pelan dan suaranya mirip seorang gembala
Kami bertemu di sebuah bukit, dan melihat ke bawah:
Bulan Juli berkilauan di atas jalan yang melingkar
Rumpun-rumpun cemara yang kebiruan serta atap-atap rumah
Di kejauhan. Sebuah gereja nampak tergantung di udara
Udara siang memercikkan lentik-lentik api dari rambutnya
Napasnya menggetarkan tahun, meluruhkan daun-daun zaitun
Sedang dari pusat matanya burung-burung nazar menyeberang
Seperti para imigran. Kawanku bukanlah seorang nabi
Tapi dadanya adalah dinding tebal yang bernama ideologi
Sedang kakinya kokoh menyanggga abad-abad sunyi
Di masa lalu, kawanku mungkin sosok paling sentimentil
Senyumnya yang meluruhkan hati semua lelaki dan perempuan
Kini menuntunku memasuki sebuah terowongan gelap
Sebab kalimat-kalimatku sering menjadi suara lain
Bagi ruang pemujaan yang penuh keluhan dan teriakan
Kusalami para jemaah dan aku selalu merasa ingin muntah
Ketika semua percintaan harus berakhir dengan segera:
Suara pidato menggelegar di antara deru panser dan meriam
Kanal-kanal meluapkan darah dan orang-orang bergerak ke kanan
Kulihat kawanku di antara mereka, mengangkat mayat-mayat
Sambil meninggalkan jejak panjang bagi para pengikutnya
Tapi aku segera berbelok ke kiri dan bergegas pergi