Share |

Puisi 94

Acep Zamzam Noor


SEPOTONG SENJA




Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku

Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukkan itu

Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi

Senyummu terlalu jenaka untuk seorang Rabi’ah

Dan punggungmu belum cukup bungkuk untuk tertatih

Menyusuri lorong-lorong Basrah dengan tongkat tua

Bagiku, kesepian belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi

Sebab kita belum cukup terbakar dalam api


Berkali-kali kausebut aku Hamlet yang gila

Hanya karena keraguanku menafsirkan sorot matamu

Karena begitu lama kubutuhkan waktu untuk terus berlari

Sebelum kulumuri kanvas-kanvasku dengan airmata

Mungkin aku lebih mirip Sisifus yang terkutuk

Atau Narsisus yang mabuk? Sepotong senja yang kauberikan

Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukkan itu

Masih belum bisa kuungkapkan sebagai lukisan


Di terowongan-terowongan kota Mekkah

Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa

Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu

Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya ingin membaca sunyi

Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan

Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan

Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hati

Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan


Di kanal-kanal Venezia, di relung-relung jembatan yang renta

Di antara para pelancong dan penziarah, juga para pelacur dan pastor

Aku tidak pernah lupa memanggil namamu, juga tidak pernah lupa

Menyumpahimu. Kubuka sebuah peta kuno di meja restoran

Sambil membayangkan pasukan kuda berderap dari arah selatan

Lalu kanvas-kanvas kosong kugelar sepanjang trotoar, kertas-kertas

Kutempel sepanjang deretan tiang. Ternyata aku tidak pernah lupa

Pada rambut ikalmu, pada hijau pupus kerudungmu


Sekali waktu kau mengejekku pengecut yang saleh

Ketika aku tersentak mendengar keinginanmu pergi ke Aceh

Mengikuti jejak Tjut Njak Dien dengan sebuah lentera kecil

Apakah kau mencari sesuatu yang paling ujung, paling tepi

Paling sunyi? Tapi alis matamu terlalu indah untuk rimba-rimba

Untuk perburuan makna di tengah dahsyatnya belantara

Ah, mungkin Lhok Nga akan menyambutmu dengan rebana

Atau malah menimbunmu dengan karangan bunga


Tiba-tiba aku tersungkur di lembah Mina

Jasadku yang telanjang hanya dibalut selembar kain putih

Seperti matahari, seperti udara, seperti tenda-tenda semuanya

Memutih. Apakah domba-domba mendengar jerit suaraku yang perih

Dan memberikan darahnya untuk mengentalkan lukaku? Apakah

Unta-unta mencium bau anyir kesakitanku? Apakah bukit-bukit batu

Membaca kerinduanku dan menggelindingkan satu bongkahannya

Untuk menindihku? Apakah gurun-gurun pasir memahami serapahku?


Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku

Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukkan itu

Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi

Payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna

Dan bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum

Sambil melambai-lambaikan tangan dengan sebatang cerutu

Bagiku, keindahan belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi

Sebab kita belum cukup tenggelam dalam sepi


***

Prev Next Next